Jam Hari ini Broo
Jakarta |
Jumat, 04 Juli 2008
Rabu, 18 Juni 2008
energi alternatif Kebun Penghasil Bensin
*Kebun Penghasil Bensin*
Bangunan di tepi jalan alternatif ke kota Sukabumi itu tersembunyi di antara kebun singkong. Tak ada yang mengira di gedung 3 kali lapangan voli itu Soekaeni mengolah umbi singkong menjadi 2.100 liter bioetanol setiap bulan. Dari jumlah itu 300 liter dijual ke pengecer premium dan 800 liter ke pengepul industri kimia. Harga jual untuk kedua konsumen itu sama: Rp10.000 per liter, sehingga pensiunan PT Telkom itu meraup omzet Rp21-juta per bulan. / /Bangunan di tepi jalan alternatif ke kota Sukabumi itu tersembunyi di antara kebun singkong. Tak ada yang mengira di gedung 3 kali lapangan voli itu Soekaeni mengolah umbi singkong menjadi 2.100 liter bioetanol setiap bulan.
Bangunan di tepi jalan alternatif ke kota Sukabumi itu tersembunyi di antara kebun singkong. Tak ada yang mengira di gedung 3 kali lapangan voli itu Soekaeni mengolah umbi singkong menjadi 2.100 liter bioetanol setiap bulan. Dari jumlah itu 300 liter dijual ke pengecer premium dan 800 liter ke pengepul industri kimia. Harga jual untuk kedua konsumen itu sama: Rp10.000 per liter, sehingga pensiunan PT Telkom itu meraup omzet Rp21-juta per bulan. / /Bangunan di tepi jalan alternatif ke kota Sukabumi itu tersembunyi di antara kebun singkong. Tak ada yang mengira di gedung 3 kali lapangan voli itu Soekaeni mengolah umbi singkong menjadi 2.100 liter bioetanol setiap bulan.
Dari jumlah itu 300 liter dijual ke pengecer premium dan 800 liter ke pengepul industri kimia. Harga jual untuk kedua konsumen itu sama: Rp10.000 per liter, sehingga pensiunan PT Telkom itu meraup omzet Rp21-juta per bulan. / Biaya untuk memproduksi seliter bioetanol berbahan baku singkong berkisar Rp3.400- Rp4.000. Satu liter bioetanol terbuat dari 6,5 kg singkong. Dari perniagaan bioetanol pria kelahiran 6 September 1950 itu meraup laba bersih Rp12-juta per bulan. Selain singkong, sekarang ia juga memanfaatkan molase alias limbah tetes tebu sebagai bahan baku. Bioetanol produksi Soekaeni itulah yang dimanfaatkan sebagai campuran premium oleh para tukang ojek di Nyangkowek, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, untuk bahan bakar kendaraan bermotor. Satu liter premium diberi campuran 0,1 liter bioetanol. Meski harganya lebih mahal ketimbang premium, mereka tetap membelinya karena kinerja mesin lebih bagus dan konsumsi bahan bakar lebih hemat.
Setahun terakhir popularitas bioetanol alias etanol yang diproses dari tumbuhan dan biodiesel atau minyak untuk mesin diesel dari tanaman memang meningkat. Keduanya-bioetanol dan biodiesel-merupakan bahan bakar nabati. Bersamaan dengan tren itu, bermunculan produsen bioetanol skala rumahan. Menurut Eka Bukit, produsen bioetanol, kriteria skala rumahan bila produksi maksimal 10.000 liter per hari. Saat ini volume produksi skala rumahan beragam, dari 30 liter hingga 2.000 liter per hari. Selain Soekaeni di Cicurug, Sukabumi, masih ada Sugimin Sumoatmojo. Warga Bekonang, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, itu mengolah 1.500 molase alias limbah pabrik gula menjadi 500 liter bioetanol per hari. Untuk menghasilkan 1 liter bioetanol pria kelahiran 31 Desember 1947 itu memerlukan 3 liter molase. Ia mengutip laba Rp2.500 per liter sehingga keuntungan bersih mencapai Rp1.250.000 per hari. Selama sebulan, mesin bekerja rata-rata 30 hari. Dengan demikian total jenderal volume produksi mencapai 15.000 liter yang memberikan untung bersih Rp37,5-juta per bulan. Di Bekonang dan sekitarnya, produsen bioetanol skala rumahan menjamur.
Menurut Sabaryono, ketua Paguyuban Perajin Bioetanol Sukoharjo, total produsen mencapai 145 orang. /*Bahan berlimpah*/ Daftar produsen bioetanol skala rumahan kian panjang jika ditulis satu per satu. Mereka bertebaran di Sukoharjo, Pati, (Jawa Tengah), Natar (Lampung), Sukabumi (Jawa Barat), Minahasa (Sulawesi Utara), dan Cilegon (Banten). Para produsen kecil itu mengendus peluang bisnis bioetanol. Harap mafhum, bahan baku melimpah, proses produksi relatif mudah, dan pasar terbentang menjadi daya tarik bagi mereka. Menurut Dr Arif Yudiarto, periset bioetanol di Balai Besar Teknologi Pati, ada 3 kelompok tanaman sumber bioetanol. Ketiganya adalah tanaman mengandung pati, bergula, dan serat selulosa. Beberapa tanaman yang sohor sebagai penghasil bioetanol adalah aren dengan potensi produksi 40.000 liter per ha per tahun, jagung (6.000 liter), singkong (2.000 liter), biji sorgum (4.000 liter), jerami padi, dan ubijalar (7.800 liter).
Pada prinsipnya pembuatan bioetanol melalui fermentasi untuk memecah protein dan destilasi alias penyulingan yang relatif mudah sehingga gampang diterapkan. Berbeda dengan proses produksi biodiesel yang harus melampaui teknologi esterifikasi dan transesterifikasi. Apalagi sebetulnya bioetanol bukan barang baru bagi masyarakat Indonesia. Pada zaman kerajaan Singosari-700 tahun silam-masyarakat Jawa sudah mengenal ciu alias bioetanol dari tetes tebu. Itu berkat tentara Kubilai Khan yang mengajarkan proses produksi. Lalu pasar? Eka Bukit yang mengolah nira aren kewalahan melayani permintaan bertubi-tubi. Setidaknya 275.000 liter permintaan rutin per bulan tak mampu ia pasok. Permintaan itu datang dari industri farmasi dan kimia. ‘Pasarnya luar biasa besar,’ ujar alumnus Carlton University itu. Oleh karena itu Eka tengah membangun pabrik pengolahan bioetanol di Kabupaten Lebak, Banten. Menurut Indra Winarno, direktur PT Molindo Raya Industrial produsen di Malang, Jawa Timur, permintaan etanol, ‘Tak terbatas.’ /*Pasok langsung*/ Sebagai substitusi bahan bakar premium, permintaan bioetanol sangat tinggi.
Mari berhitung, ‘Kebutuhan bensin nasional mencapai 17,5- miliar per tahun,’ ujar Ir Yuttie Nurianti, manajer Pengembangan Produk Baru Pertamina. Yuttie menuturkan 30% dari total kebutuhan itu impor. Seperti diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah No 5/2006 dalam kurun 2007-2010, pemerintah menargetkan mengganti 1,48-miliar liter bensin dengan bioetanol lantaran kian menipisnya cadangan minyak bumi. Persentase itu bakal meningkat menjadi 10% pada 2011-2015, dan 15% pada 2016-2025. Pada kurun pertama 2007-2010 selama 3 tahun pemerintah memerlukan rata-rata 30.833.000 liter bioetanol per bulan. Dari total kebutuhan itu cuma 137.000 liter bioetanol setiap bulan yang terpenuhi atau 0,4%. Itu berarti setiap bulan pemerintah kekurangan pasokan 30.696.000 liter bioetanol untuk bahan bakar. Pangsa pasar yang sangat besar belum terpenuhi lantaran saat ini baru PT Molindo Raya Industrial yang memasok Pertamina.
Dari produksi 150.000 liter, Molindo memasok 15.000 liter per hari. Molindo menjual biopremium melalui Pertamina Rp5.000 per liter. Mungkinkah produsen skala rumahan memasok Pertamina? Kepada wartawan /Trubus/ Imam Wiguna, Yuttie mengatakan, ‘Pertamina menerima berapa pun pasokan bioetanol dari pihak swasta. Yang penting memenuhi syarat.’ Syarat yang dimaksud sang manajer adalah berkadar etanol minimal 99,5%. Rata-rata bioetanol hasil sulingan produsen skala rumahan berkadar 90-95%. Agar syarat itu tercapai, produsen dapat mencelupkan penyerap seperti batu gamping dan zeolit sehingga kadar etanol melonjak signifikan (baca: /Bioetanol 99,5% Murnikan Saja dengan Gamping/ halaman 24-25). Selain itu, pemasok harus mengantongi izin usaha niaga bahan bakar nabati dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Ketua Tim Nasional Bahan Bakar Nabati Ir Alhilal Hamdi berupaya agar hubungan Pertamina-produsen skala kecil terjalin dengan mudah. ‘Kami akan memfasilitasi agar tercipta mekanisme paling mudah bagi industri kecil yang memasok Pertamina tanpa perantara. Perantara itu kan biaya. Atau bisa juga langsung dikirim ke SPBU karena jaringan Pertamina luas,’ ujar mantan menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi itu (baca: Produsen Boleh Oplos Bioetanol halaman 18).
Tentang harga beli, Yuttie mengatakan, ‘Harga beli yang ditawarkan produsen harus kompetitif.’ Saat ini Pertamina membeli 1 liter bioetanol Rp5.000. Toh, produsen skala rumahan pun diberi kesempatan mengoplos alias mencampur bioetanol dan premium sendiri untuk dipasarkan. Produsen yang mengoplos tak perlu takut dicokok aparat karena memang dilindungi undang-undang. Yang menggembirakan bioetanol untuk bahan bakar bebas cukai. Itu bukti bahwa pemerintah memang serius mengembangkan bioetanol sebagai sumber energi terbarukan. /*Langit biru*/ Penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar juga berdampak positif. Banyak riset sahih yang membuktikannya. Dr Prawoto kepala Balai Termodinamika, Motor, dan Propulsi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, misalnya, membuktikan kinerja mesin kian bagus setelah diberi campuran bioetanol. Riset serupa ditempuh oleh Prof Dr Ir H Djoko Sungkono dari Jurusan Teknik Mesin Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Hasil penelitian Prawoto menunjukkan, dengan campuran bioetanol konsumsi bahan bakar semakin efisien. Mobil E20 alias yang diberi campuran bioetanol 20%, pada kecepatan 30 km per jam, konsumsi bahan bakar 20% lebih irit ketimbang mobil berbahan bakar bensin. Jika kecepatan 80 km per jam, konsumsi bahan bakar 50% lebih irit. Duduk perkaranya? Pembakaran makin efisien karena etanol lebih cepat terbakar ketimbang bensin murni. Pantas semakin banyak campuran bioetanol, proses pembakaran kian singkat. Pembakaran sempurna itu gara-gara bilangan oktan bioetanol lebih tinggi daripada bensin. Nilai oktan bensin cuma 87-88; bioetanol 117. Bila kedua bahan itu bercampur, meningkatkan nilai oktan. Contoh penambahan 3% bioetanol mendongkrak nilai oktan 0,87. ‘Kadar 5% etanol meningkatkan 92 oktan menjadi 94 oktan,’ ujar Sungkono, alumnus University of New South Wales Sydney. Makin tinggi bilangan oktan, bahan bakar makin tahan untuk tidak terbakar sendiri sehingga menghasilkan kestabilan proses pembakaran untuk memperoleh daya yang lebih stabil. Campuran bioetanol 3% saja, mampu menurunkan emisi karbonmonoksida menjadi hanya 1,35%. Bandingkan bila kendaraan memanfaatkan premium, emisi senyawa karsinogenik alias penyebab kanker itu 4,51%. Nah, ketika kadar bioetanol ditingkatkan, emisi itu makin turun. Program langit biru yang dicanangkan pemerintah pun lebih mudah diwujudkan. Dampaknya, masyarakat kian sehat. Saat ini campuran bioetanol dalam premium untuk mobil konvensional maksimal 10% atau E10. Bahkan di Brasil, mobil konvensional menggunakan E20 alias campuran bioetanol 20% tanpa memodifikasi mesin. Penggunaan E100 atau E80 pada mobil konvensional tanpa modifikasi mesin tidak disarankan karena khawatir merusak mesin. Namun, kini muncul flexi car alias kendaraan fleksibel yang dapat menggunakan bioetanol hingga 100% atau premium 100% pada waktu yang lain. Di Amerika Serikat saat ini terdapat 5-juta flexi car dengan penambahan 1- juta kendaraan per tahun.
/*Berebut bahan */ Meski banyak keistimewaan, bisnis bioetanol bukannya tanpa hambatan. Salah satu aral penghadang bisnis itu adalah terbatasnya pasokan bahan baku. Saat ini sebagian besar produsen mengandalkan molase sebagai bahan baku. Padahal, limbah pengolahan gula itu juga dibutuhkan industri lain seperti pabrik kecap dan penyedap rasa. Bahkan, sebagian lagi di antaranya diekspor. Indra Winarno mengatakan molase menjadi emas hitam belakangan ini. Dampaknya, hukum ekonomi pun bicara. Begitu banyak permintaan, harga beli bahan baku pun membubung sehingga margin produsen bioetanol menyusut. Beberapa produsen melirik singkong sebagai alternatif. Banyak yang membenamkan investasi di Lampung karena provinsi itu penghasil singkong terbesar di tanahair. Kehadiran mereka ternyata mendongkrak harga ubikayu di sana. ‘Dulu harganya di bawah Rp300 per kg. Sekarang lebih dari Rp400,’ ujar Donny Winarno, vice president PT Molindo Raya Industrial.
Kenaikan harga itu berkah bagi para pekebun. Di sisi lain menyulitkan para produsen. ‘Saya berharap pemerintah mengeluarkan kebijakan yang juga melindungi produsen,’ ujar alumnus University of California itu. Jika hambatan teratasi, produsen silakan meraup rupiah dari tetesan bioetanol. Soalnya, pasar bioetanol-sebagai bahan bakar-memang sangat besar karena populasi kendaraan bermotor meningkat. Menurut Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia, penjualan mobil meningkat rata-rata 53.400 unit per tahun. Pemilik mobil tak perlu memodifikasi mesin untuk menggunakan campuran bioetanol. Pasar itu kian luas dan membaik ketika subsidi bahan bakar yang nilainya Rp1.681,25 per liter itu dicabut. Dengan kebutuhan 17-miliar liter, pemerintah menggelontorkan dana Rp28,6-triliun per tahun. Terlepas dari urusan bahan bakar, peluang pasar bioetanol tetap besar. Itu lantaran banyak industri yang memerlukannya. Sekadar menyebut contoh, industri bumbu masak, bedak, cat, farmasi, minuman berkarbonasi, obat batuk, pasta gigi dan kumur, parfum, serta rokok memerlukannya. Bahkan industri tinta pun perlu bioetanol. Produk itu berfaedah sebagai pelarut, bahan pembuatan cuka, dan asetaldehida.
Menurut Ir Agus Purnomo, ketua Asosiasi Spiritus dan Etanol Indonesia (Asendo), kebutuhan etanol untuk industri rata-rata 140-juta liter per tahun. /*Investasi marak*/ Dengan segala kelebihan di atas, penggunaan bioetanol agaknya kian mendesak. Bukan hanya karena industri itu menjadi lokomotif pengembangan ekonomi dan menciptakan lapangan pekerjaan. Namun, juga lantaran harga minyak bumi yang diperkirakan melambung hingga US$100 per barel (1 barel = 117,35 liter) pada tahun mendatang. Itulah sebabnya, Johan Bukit produsen bioetanol memperkirakan, ‘Siapa pun presiden terpilih, pada 2009 sulit mempertahankan subsidi bahan bakar.’ Kondisi itu mendorong banyak investor membenamkan modal untuk membangun kilang hijau alias energi terbarukan. Johan Arnold Manonutu, misalnya, menjalin kemitraan dengan masyarakat Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Anak tunggal mantan Menteri Penerangan zaman Bung Karno itu menggelontorkan dana jutaan rupiah untuk membeli 5 unit mesin produksi bioetanol berkapasitas masing-masing 200 l/hari. Mesin-mesin itu ‘dipinjamkan’ kepada warga Desa Menara, Kecamatan Amurang Timur, Kabupaten Minahasa Selatan. Satu unit mesin dikelola 3 orang. Johan menampung hasil produksi mereka yang mencapai 1.000 liter sehari, dengan harga Rp6.000 per liter. ‘Harga itu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga cap tikus yang hanya Rp300 per liter,’ ujarnya. Cap tikus yang ia maksud adalah sulingan nira aren berkadar etanol 35% yang lazim digunakan untuk bahan minuman keras. Johan memasarkan etanol itu ke beberapa rumahsakit untuk sterilisasi. Dengan harga jual Rp16.000-Rp17.000 per liter, omzetnya Rp16-juta-Rp17-juta per hari.
Edy Darmawan dari PT Indo Acidatama berencana membangun pabrik pengolahan berkapasitas 50-juta liter per tahun di Lampung. Begitu juga Sugar Group Company (SGC), pemilik 3 pabrik gula raksasa yang mendirikan pabrik berkapasitas sama di Lampung Tengah. Mereka mengendus peluang besar dengan membangun kilang hijau yang ramah lingkungan. Pangsa pasar terbentang luas, harga memadai, bahkan dapat digunakan untuk keperluan sendiri. Itulah bioetanol, ‘bensin’ dari tetumbuhan. Ingin membangun kilang di halaman rumah agar mencecap manisnya berbisnis bioetanol? (*Sardi Duryatmo/Peliput: Andretha Helmina, Imam Wiguna, Lani Marliani, & Nesia Artdiyasa*)
Sumber: Trubus Majalah Pertanian Indonesia : http://www.trubus-online.com Online version:
Langganan:
Postingan (Atom)